"Saat itu saya masih berumur 18 tahun, dan ibu memasukkanku ke kelas privat, hanya beberapa teman yang ada dalam kelas tersebut dan tidak ada satupun teman Muslim yang saya kenal" .
Ini adalah awal cerita dari seorang teman bernama Abdullah saat saya penasaran menanyakan bagaimana dia mengenal Islam. Dan Mengapa dia tertarik untuk masuk Islam.
Emang sebelumnya agama dia apa? Dan Abdullah itu siapa??
Baik. Saya gak tau darimana saya harus cerita supaya enak di baca, karena saya memang bukan cerpenis ato penulis yang baik.
Nama dia sebelumnya adalah Simone. Dua minggu lalu dia adalah penghuni baru di asrama kami (WAMY). Dulunya dia anak muda beragama Katolik berkebangsaan Denmark. Entah aku lupa nanya di mana tepatnya dia tinggal di Denmark. ( yaah di kasih tau juga gak bakal nyambung..hehe)
Sebelumnya kita udah saling kenal, cuma ngobrolnya paling seputar kegiatan antar kita di sini. Dan ngomongin yang gak penting..:)
Sampai suatu hari saya baru tahu - kurang lebih dua hari lalu- kalau dia adalah muallaf.
Selama ini saya hanya membaca tentang cerita para muallaf yang diasingkan masyarakat bahkan oleh keluarganya sendiri dan gak sedikit muallaf yang dianiaya dan diancam bunuh oleh sekolompok orang yang sangat tidak menyukai keputusannya tersebut.
Tapi namanya hidayah ditambah keyakinan yang mantep, hal hal begituan (penganiayaan, diskriminasi, intimidasi dll) mah lewat aja..tul gak?:)
Baik, ngomong ngomong soal hidayah seperti ngobrolnya Asy'ary VS Mu'tazilah yang gak henti hentinya ngebahas hidayah itu untuk seluruh manusia ato khusus Muslim aja..??
Kata Alquran "Inna Allaha la yahdi al-qauma adz-dzolimin", "Inna Allaha la yahdi al-qauma al-kaafiriin", dsb, semua ayat-ayat itu menunjukkan kalo hidayah hanya diperuntukkan bagi selain kafir menurut Asy'ary, tapi di ayat lain Allah berfirman "Inna Allaha yahdi man an-yasyaa' ", yang tentunya selain kafir juga masuk (semua golongan), begitu kata pak de-pak de dari Muktazilah.
Terus katanya hidayah itu kan petunjuk, kalo yang namanya petunjuk ya tentu buat orang yang gak tau jalan dong (mu'tazilah).. tapi orang yang tau jalan perlu juga di kasih petunjuk biar gak nyasar..jadi selain orang dzolim bukan hidayah namanya (Asy'ary) ..weleh weleeeh..au ah..terusannya jadi mbulet..jurusannya hanya berkisar tapi...tapi..dan tapi....tiiiiittt...sensored!Oke stop! (falsafah al-asyaa'iriyah, 62-71).
Karena gak pernah denger langsung cerita orang muallaf, makanya jadi pengen nanya, gimana sih prosesnya, sampai dia memilih Islam??. Sebenernya gak enak nanya beginian, takutnya ntar dikira gimana..tapi aku udah minta maaf kalau dianggap lancang bertanya seperti itu.
"Abdullah, kamu jangan tersinggung ya".
"ah gak papa kok, aku sudah beberapa kali bercerita seperti ini kepada orang lain". Katanya sambil tersenyum.
"3 tahun lalu aku adalah penganut katolik yang taat sama seperti ibuku, saat itu adalah masa jahiliyah bagiku, seperti anak muda lainnya, hidupku hanya foya foya, sampai pada saatnya aku tidak sengaja berkenalan dengan seorang pelayan Muslim disebuah restoran dan entah kenapa dia mengajakku ke masjid".
Bentar..bentar..berani benar yah orang itu??Orang Kristen kok yang di ajak ke Masjid, gak kebalik tuh...lagian yang ngajak cuma pelayan restoran, gimana semudah itu dia bisa ngajak Abdullah?? Yaaah kalo sudah inget ma yang namanya hidayah, skenario Tuhan lebih canggih tentunya dong...Gitu aja kok repot.hehehe..."wa yamkuruuna wayamukuru allah wallahu khoirul maakiiriin(al-anfal:30).
Betul gak sodare???:):)
"Dia banyak memberikanku informasi tentang Islam, begitu juga dengan agama yang aku anut waktu itu, bahwa alkitab yang selama itu aku percayai tak lebih dari sekedar dongeng dongeng orang yang berusaha melencengkan agama mereka sendiri, kita sebagai penganut agama katolik tidaklah semuanya mengimani apa yang tertera dalam alkitab dan apa disampaikan oleh pastur, dan ternyata setelah aku perhatikan banyak hal dalam cerita tersebut yang sangat sulit untuk dibenarkan, baik secara akal atau fakta, mungkin kamu sudah banyak tahu kan seperti apa yang disampaikan Ahmad Dedaat??"tanyanya.
Ya, Ahmad deedat adalah seorang kristolog plus orator berbakat berdarah India yang sangat disegani oleh para islamolog setingkatnya, buku-bukunya yang menyerukan antisemitik, anti-Kristen anti-Hindu dll masih banyak diperjualbelikan dalam berbagai bahasa, dan pada akhirnya 8 Agustus 2005 kemarin beliau kembali juga kepada yang Kuasa.
"Aku merasakan perbedaan setelah masuk Islam dan mengetahui bahwa tolak ukur kemusliman seseorang adalah berujung pada keimanan. Keimanan dalam islam adalah benar benar iman yang sebenarnya, berdasar dan tidak terbantah.
Allah tidak melihat pada siapa kita dan dari mana kita berasal, tapi Allah hanya melihat pada keimanan kita, betul kan ayyub?"tanyanya lagi. Kali ini saya masih mengangguk dan berusaha menjadi pendengar setia.
"Yang juga aku kagumi lagi adalah tentang sains yang terdapat dalam alquran seperti yang terdapat dalam surah ar-rahman bahwa laut dan sungai seakan-akan terpecah menjadi dua seperti ada yang memisahkan, juga alquran berbicara tentang proses kelahiran bayi yang dikandung oleh seorang ibu dalam rahim. Semuanya itu semua telah dibuktikan oleh ilmuwan modern, padahal alquran itu kan di turunkan 1400 tahun yang silam..".
Oke...cerita Abdullah satu ini terlepas dari perdebatan mengenai sains islami, sebagian orang menganggap bahaya jika memandang Alqur’an sebagai ensiklopedi ilmu pengetahuan. Sebab, tidak ada yang abadi dalam ilmu pengetahuan. Pada suatu masa, suatu teori mungkin dianggap valid dan sesuai, tapi bisa jadi dilain waktu ia dikritik atau diganti dengan teori yang dianggap lebih benar.
Jika Alqur’an diperlakukan demikian, tak tertutup kemungkinan terjadinya benturan antara agamawan versus ilmuwan seperti yang terjadi di zaman renaissence.
Mereka pun beralasan dengan cara pemisahan itu, ketika ada clash antara sains dan agama, kita masih bisa mengikuti sains sambil tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
"Trus apa yang kamu lakukan setelah itu?".
"Aku pulang ke rumah dan merenungi apa yang disampaikan oleh orang itu, kita tetap berhubungan lewat telpon dan melanjutkan diskusi selama dua minggu. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui orang tersebut di masjid dan menyatakan ke Islamanku dengan bersyahadat di depan kaum Muslim di sana, Alhamdulillah". Ucapnya dengan senyum ramah.
"Lalu bagaimana dengan orang tua kamu?Apakah mereka juga mengikuti jejakmu atau...?" Entah bagaimana pertanyaan bodoh ini saya lontarkan. Saya hanya bertanya tanpa berfikir respon apa yang akan didapat setelahnya. Karena pertanyaan ini cukup sensitif, jadi saya segera minta maaf jika sempat meyinggung, Abdullah sedikit menghela nafas panjang.
"gak papa kok, kenapa kamu minta maaf terus?".Jawabnya dengan harapan mungkin supaya saya tidak terlalu merasa bersalah.
"Sebenarnya ibuku susah sekali untuk menerima kenyataan ini, tapi saudara-saudaraku sebagian sudah bisa memahami dan merelakan aku untuk pergi menuntut ilmu di sini, begitu juga Alhamdulillah dengan ayah, dia seorang ayah yang baik".
Aku membayangkan perasaan dia, bagaimana seandainya orang orang terdekatku sudah tidak mengindahkanku. Gak kebayang, pemuda umur 21 tahun ini (sebaya denganku) sudah sangat berani mengambil keputusan yang jarang sekali orang bisa menerima resikonya.
Akhirnya, tanpa disengaja, ada semacam dorongan untuk mengatakan sesuatu pada Abdullah.
"Abdullah, saya ingin mengatakan sesuatu kepada kamu, saya cukup mengerti dan prihatin dengan keadaan kamu sekarang lewat cerita kamu, disaat orang orang sekelilingmu sudah tidak lagi peduli pada kamu. Sedangkan jalan kamu masih panjang untuk membutuhkan dukungan dukungan dari mereka. Saya harap kamu jangan sedih, dan jangan pernah kamu merasa sendirian, jika butuh apa, saya ada di sebelah kamar kamu, jangan segan, karena kita semua di sini adalah saudaramu...".
Pandangan Abdullah sedikit melihat ke arahku, senyumnya dan wajahnya tampak lebih ceria dari sebelumnya, sambil berkata "terima kasih saudaraku".
Kairo, 25 Juli 2007.